phammank*: lama akhirnya bisa nge-posting lagi.. hmhmhmhm, tugas kampus yang menumpuk. dan faktor kekenyangan sepertinya akan saya jadikan tersangka utama.. hahhaa... wajar kan kemarin baru aja lebaran IDUL ADHA... oiaa... Mohon Maaf Lahir Bathin Yach, semoga sifadt tauladan dari nabi ibrahim dan ismail mampu hadir di sela-sela hati yang telah di butakan oleh cinta duniawi (lebay mhee kwodonkk.. hahah)... dan sekarang wifi gratis menemaniku, di campur dengan alunan lagu PSY-Ganggnam Style sambil membayangkan Maria Ozawa yg ber-ganggnam style (hahahaa.....) dan sekarng pembahasannya lumayan sulit dan pasti akan banyak kekurangannya. hmhmhm... kalau orang sudah berbicara mengenai Konsep ketuhanan pasti susah ada jalan temunya kalau konsep keberadaan yang selalu di tabrakkan dengan tuhan itu seperti apa !!! Namun alangkah buruknya manusia jika dia yakin dengan adanya Tuhan dan percaya kalau semua yang ada pada diri ini adalah pemberian dari TUHAN kalau tidak menggunakan pemberian itu untuk berfikir, meski harus mempertanyakan TUHAN. menurutku TUHAN jangan pernah di "percaya" tapi di "yakini" kita meyakini TUHAN itu ada namun kita tidak mampu membuat orang lain percaya dengan apa yang kita rasakan. memang benar TUHAN itu adalah "sesuatu" yang tidak akan pernah mampu untuk dirasionalkan, pemikiran manusia belum ada yang mampu menjangkau seperti apa TUHAN yang sebenarnya, karena selama ini kita hanya mempercayai TUHAN dari mulut ke mulut atau mungkin pedoman kita (al-qur'an). berbagai banyak orang yang selalu mengkaji TUHAN itu n begitu banyak novel-novel yang tercipta dari kerangka pemikiran manusia. dan pertanyaan sederhananya adalah "mengapa kita beragama ???" mungkin anda mempunyai jawaban tersendiri, nech aku punya referensi atau jawaban sementara (hipotesa, na bilang dosen pengantar metodologi penelitianku. hihihih)
Mukadimah
Ledakan
Revolusi Industri yang terjadi di Barat telah memantik pemikiran dan gagasan
tentang pembebasan manusia dari agama. Sebagian kelompok beranggapan bahwa
alih-alih mendewakan agama sebagai jalan untuk meraih kebahagiaan dan
kesuksesan serta memenuhi segala keinginan dan hajat manusia, mereka memilih
sains dan industri sebagai solusi dan way out baginya. Bahkan pada tingkat kulminasinya, sebagaimana
yang dikukuhkan oleh Marx bahwa agama bagi manusia merupakan candu dan opium
yang meninabobokan mereka.
Akan tetapi
dengan berlalunya sang waktu, gagasan dan pemikiran ini ternyata mandul dan
tidak melahirkan solusi untuk menjawab segala keinginan dan hajat maknawi
manusia.
Pembicaraan
tentang hajat manusia terhadap agama atau hajat agama terhadap manusia memang
merupakan sebuah persoalan yang penting untuk dibahas. Mengapa agama sedemikian
perlu bagi kehidupan manusia? Apa saja yang ditawarkan agama untuk melepaskan
manusia dari segala alienasi dan patologi sosial yang semakin menggurita menghantam
kehidupan bani Adam? Apakah manusia secara fitri adalah insan beragama? Ataukah
manusia karena rasa gentar, dungu, faktor kemiskinan dan kebutuhannya terhadap
etika ia memerlukan agama? Banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan di sini
untuk melihat signifikansi persoalan agama pada diri manusia sebagai
komplementer dari pertanyaan inti di atas yang diambil sebagai judul tulisan
ini.
Definisi Agama
Din dalam bahasa Arab sering diterjemahkan secara leksikal sebagai
agamadalam bahasa Indonesia atau padanannya dalam bahasa Inggris sebagai ‘religion’, atau religio dalam bahasa Latin kerap digunakan untuk beberapa
makna. Dan yang
terpenting dari makna-makna tersebut adalah, ganjaran, ketaatan, kebiasaan,
tradisi, hukum, stipulasi (qaid), dan sebagainya. Dan yang paling orisinal di antara makna-makna di
atas adalah ketaatan dan loyalitas.
Secara
terminologis agama dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Seperangkat aturan dan hukum-hukum normatif yang
mengatur dan menata kehidupan manusia dalam rangka mentaati aturan Tuhan.
2. Sebagai komplementer dari definisi di atas agama dapat
didefinisikan sebagai aturan dan stipulasi yang diterima manusia dalam ranah
keyakinan terhadap Tuhan dalam perilaku kehidupan manusia.
Berdasarkan
definisi di atas, agama memiliki dua rukun asasi, 1. Keyakinan
terhadap Tuhan. 2. Amal
dan perbuatan sesuai dengan tuntutan keyakinan tersebut.
Analisa Beberapa Hipotesa Atas
Kemunculan Agama
Kini mari
kita menganalisa atas beberapa hipotesa atas mengapa manusia cenderung kepada
agama dan menjadi pemeluk salah satu agama. Masing-masing hipotesa yang akan
kita bahas masing-masing sarat dengan kritik, lantaran kenyataan sejarah
berbicara sebaliknya.
a. Asumsi Kejahilan
Salah seorang sosiolog ternama mengatakan, Meskipun ilmu
dan sains telah berhasil menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah
tersingkap itu masih kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami
hal-hal misterius ini telah menyebabkan kemunculan agama.[1]
Salah seorang filsuf materialis menambahkan bahwa tatkala
manusia menatap kejadian-kejadian sejarah, dengan alasan yang sangat jelas
mereka membayangkan bahwa ilmu (baca: sains) dan agama adalah dua musuh
bebuyutan yang tidak dapat berdamai. Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum
kausalitas, pada detik yang sama ia tidak dapat memberikan peluang kepada
akalnya untuk membayangkan bahwa barangkali terjadi dalam lintasan
peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan dan kendala atas terjadinya
sebuah peristiwa.[2]
Sederhananya,
mereka hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap sebab-sebab alami
telah menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar alam yang
menciptakan dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak terungkapnya
faktor dan sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk meyakini
keberadaan Tuhan dan agama.
Kesalahan
mendasar para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui poin-poin
berikut ini:
Pertama, mereka membayangkan bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti
mengingkari hukum kausalitas. Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah
kita harus menerima sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan Tuhan?
Padahal
dalam filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap sebab-sebab
alami merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat mengenal Tuhan.
Kita tidak
pernah mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan kejadian-kejadian yang tak
jelas. Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara keteraturan-keteraturan alam
semesta. Karena, adanya keteraturan ini merupakan penanda jelas atas wujud satu
Sumber Awal bagi alam semesta dan wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.
Kedua, mengapa mereka lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu
hingga hari ini melihat adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya
ini. Menafsirkan sistem ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat
diterima. Dan mereka menganggap keutuhan sistem jagad raya ini sebagai pertanda
wujud Tuhan. Akan tetapi, pada masa lalu, sistem ini tidak banyak dikenal
orang. Dan semakin maju ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat menyingkap
seluk-beluk sistem jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan kemahakuasaan
Sumber Awal bagi keberadaan semesta ini akan semakin gamblang.
Atas dasar
ini, kita yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama relevan dengan
kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan rahasia dan
aturan-aturan jagad raya ini merupakan langkah baru untuk pengenalan yang
semakin cermat terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan hari ini dalam
rangka mengenal Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia jaman dahulu,
lantaran mereka tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.
b. Asumsi Rasa Takut
Will Durant, seorang sejarawan kenamaan Barat, di dalam
buku sejarahnya, ketika membahas Sumber-sumber Agama, menukil pendapat
Luctrius, seorang filsuf Romawi, bahwa rasa takut adalah ibu para dewa! Dan
bagian rasa takut yang paling penting ialah rasa takut dari kematian. Atas
dasar ini, manusia pertama tidak dapat meyakini bahwa kematian adalah satu
fenomena alam. Oleh karena itu, mereka
senantiasa menganggap bahwa sebab metafisislah yang menjadi penyebab kematian
itu.[3]
Senada dengan teori di atas, B. Russel berkata, Aku
berasumsi bahwa sumber agama -sebelum segala sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa
takut bersumber dari musibah-musibah alam, dari peperangan dan sebagainya. Rasa
takut dari pekerjaan-pekerjaan salah yang dilakukan manusia ketika syahwat
mendominasi.[4]
Kekeliruan
asumsi ini akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini sepakat bahwa akar
keyakinan kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar metafisis. Dan tentu
saja, harus ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini. Sebuah faktor yang
akhirnya kembali kepada prasangka dan khayalan belaka. Oleh karena itu, mereka
senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan melupakan kerangka aslinya.
Benar bahwa
iman kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan kepada manusia.
Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi kematian dan
berbagai peristiwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap pengorbanan.
Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir secara
telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku atas bumi
dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan manusia?
Dengan kata
lain, meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi atau
semisalnya, seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan
kakinya, ia akan melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan kokoh.
Bangunan kokoh dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila
bersumber dari gejala-gejala aksidental dan faktor-faktor yang tidak masuk
akal. Sekuntum bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang tertata
apik serta fenomena-fenomena semesta lainnya merupakan contoh gamblang dari
kenyataan itu.
Kenyataan
ini senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini dan ia
merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan realitas
nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan agama,
lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan kedunguan
manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah dungu dalam
menghadapi realitas telanjang ini dan takut terhadap kemajuan ideologi agama,
sebab mereka melepaskan jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan
yang tak menentu, serta bersandarkan kepada asumsi-asumsi yang tak berdasar.
c. Asumsi Faktor Ekonomi
Eksponen asumsi ini adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan
penggerak sejarah adalah alat-alat reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh
fenomena sosial, seperti budaya, ilmu, filsafat, politik, bahkan agama muncul
sebagai akibat dari perkara ini.
Untuk
menghubungkan kemunculan agama dan masalah-masalah ekonomi, mereka mengajukan
penafsiran yang aneh. Di antaranya, mereka berasumsi bahwa menurut kaum imperialis dalam
lingkungan sosial, dalam rangka mengenyahkan resistensi dan gerakan massif kaum
terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan menciptakan agama. Kalimat yang
terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku Sosialisme wa Mazhab (Sosialisme dan Agama) adalah, Agama di tengah
masyarakat merupakan candu. Dalam kasus ini terdapat sederet ungkapan yang
serupa; terulang-ulang.
Untungnya,
penyokong asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban sendiri yang
ternyata kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat menjungkalkan kaum
imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi, para Fir’aun Mesir dan
kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka, terpaksa mereka
mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta sejarah.
Lebih dari
itu, tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam menentang kaum
imperialis, khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan kekuasaan Timur dan
Barat, atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan Zionisme, mereka tidak
memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa mereka sendiri.
Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan, karena tidak mampu
melihat terangnya sinar matahari.
Secara umum,
dengan memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak sesuai dengan
asumsi mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan
sosial yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah ekonomi juga membentuk
bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi ekonomi merupakan kesalahan
besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan transendental manusia.
d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika
Dalam tema agama dan sains, Einstein berujar, Dengan
sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan
insani menjadi penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya.. Setelah
menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk
sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat
orang tuanya. Kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia.
Satu demi satu orang-orang di sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan untuk
terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung
adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan”.[5] Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan
bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.
Mari kita
kembali menelaah pendapat di atas. Orang-orang yang memberikan asumsi akhlak
ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek
tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala menggali sebuah sumur
yang dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan
motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan
untuk menemukan harta karun.
Oleh karena
itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual
manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala
harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar
yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi
kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah
sebuah efek, bukan sebuah motivasi.
Motivasi
utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal
kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak akan
menerima begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan segala
elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem
sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak
berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak kepada
Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja
kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah
diisyaratkan sebelumnya.
Dan anehnya,
Einstein sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat lain ia
mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda,
keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan
imannya kepada Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa
ia mengingkari ideologi yang bergantung kepadakhurafat-khurafat, bukan kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.
Ia
menuturkan, Sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah
ditemukan oleh mereka. Kemudian, Einstein dan para ilmuwan besar lainnya
menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut perasaan
religius penciptaan atau perasaan religius keberadaan. Dan di tempat lain,
disebut sebagai takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat jagad raya.
Dan yang lebih menarik adalah penegasannya, Iman religius
adalah suluh bagi jalan pencarian hidup para cendikiawan.[6]
Tentu saja,
dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin
melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan
tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama.
Dan pembahasan ini kita akhiri sampai di sini. Kami ingatkan bahwa untuk
mengetahui motivasi atau dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu
menelaah penciptaan semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu
mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian
mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah
disinggung sebelumnya mengenai anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas.[7]
Agama adalah Fitrah
Arti dari
kata fitrah adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran
atau argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang
mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga
yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam
pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta berkata,
Bunga ini elok rupanya, tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan
terhadap Tuhan dan keberagamaan juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan
fitri. Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya
kebenaran. Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang
mengajaknya ke arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di
jagad raya ini yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan
mutlak dan mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti
melihat keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.
Bukti-bukti Hidup atas Kefitrahan Agama
Barangkali
seseorang mengatakan bahwa semua ini hanyalah klaim-klaim belaka, dan
metode-metode untuk membuktikan kefitrahan agama tidak tersedia. Kita mungkin
dapat mengklaim bahwa kita temukan perasaan seperti ini dalam lubuk hati kita,
namun sekiranya ada seseorang yang enggan untuk menerima ungkapan semacam ini,
bagaimana kita dapat memberikan jawaban kepadanya sehingga ia dapat menerima
dengan puas?
Dalam
menjawab ungkapan tersebut, sebenarnya kita memiliki pelbagai bukti yang tak
terbilang jumlahnya dan dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat atas kefitrahan
tauhid. Begitu gamblangnya bukti-bukti tersebut sehingga mulut pengingkarnya
dapat dibungkam.
Bukti-bukti
ini dapat disimpulkan ke dalam enam bagian:
a. Fakta Sejarah
Fakta-fakta
sejarah yang didasari oleh pernyataan para sejarawan klasik dunia menunjukkan
bahwa agama tidak ada di tengah masyarakat. Namun, mereka percaya pada satu
Sumber Awal, Ilmu dan Kuasa di jagad yang mereka sembah. jika kita menerima
aksioma ini, sejarah ini memiliki kaidah universal yang mengatakan bahwa
komunitas manusia sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berada pada
penyembahan akan kebenaran yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka. (Pada
setiap kaidah universal, terdapat pengecualian).
Will Durant, sejarawan Barat dalam History of Civilization, setelah menyebutkan hal-hal
berkenaan dengan kondisi tanpa-agama (dalam banyak masyarakat), mengakui suatu
kebenaran, bahwa Dengan adanya asumsi-asumsi yang telah kami sebutkan, kondisi
tanpa-agama adalah sesuatu yang langka. Dan keyakinan kuno ini menyatakan bahwa
agama adalah teladan yang diyakini oleh masyarakat secara umum dan sesuai
dengan kebenaran, dan ini -menurut pandangan seorang filsuf-merupakan salah
satu hukum dasar sejarah dan psikologi. Ia tidak merasa puas dengan satu teori
yang menyatakan bahwa seluruh agama berasal dari hal-hal sia-sia dan batil.
Sebaliknya, ia tahu bahwa agama senantiasa bersama sejarah sejak dahulu”.[8]
Masih pada pembahasan yang sama, Durant menambahkan, Di
manakah letak sumber keutamaan yang sama sekali tidak akan pernah hilang dari
sanubari manusia ini?[9]
Dalam Pelajaran-pelajaran
Sejarah, berangkat dari rasa sedih dan geram, Durant berkata
lebih tegas lagi, Agama memiliki seribu jiwa. Setiap kali Anda membunuhnya, ia
akan hidup kembali.[10]
jika
keyakinan kepada Allah Swt atau agama memiliki dimensi adat, taklid, dikte atau
propaganda orang lain, niscaya ia tidak bersifat sedemikian umum dan serempak,
serta terus berlanjut sepanjang perjalanan sejarah. Hal ini merupakan
sebaik-baik bukti atas kefitrahan agama.
b. Argumentasi Para Arkeolog
Tanda-tanda forensik yang masih
tersisa (yaitu, kondisi seluruh manusia sebelum adanya invensi tulisan dan
penulisan), menunjukkan bahwa masyarakat pra-sejarah memiliki agama. Mereka
percaya kepada Tuhan, dan bahkan Hari Kiamat atau kehidupan pasca kematian. Hal
itu didasari oleh banyaknya benda-benda kesukaan mereka yang masih tertimbun,
dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup setelah mereka seperti; me-mummi-kan jasad orang-orang mati, dan membangun kuburan-kuburan berbentuk
piramida yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama untuk mengantisipasi
mayat-mayat tersebut supaya tidak terkubur dan tertimbun. Semua ini adalah
bukti atas kepercayaan masyarakat silam pada Sumber Awal (Tuhan) dan Hari Akhir
(Kebangkitan).
Benar bahwa perilaku-perilaku
yang menunjukkan kepercayaan religius mereka ini banyak tercemari oleh khurafat
dan takhayul. Akan tetapi, karena pembahasan utama kita kali ini adalah
pembuktian adanya kepercayaan religius pada masa-masa pra-sejarah, hal ini
dapat dijadikan sebagai bukti yang tak terbantahkan.
c. Kajian-kajian Psikis dan
Temuan-temuan Para Psikoanalis
Dimensi spiritual manusia dan kecenderungan-kecenderungan
dasarnya adalah sebuah bukti yang gamblang atas kefitrahan kepercayaan
religius. Empat perasaan yang popular (atau empat kecenderungan transendental)
dan mendasar yang akhir-akhir ini diintroduksi
oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai empat dimensi spiritual manusia.
Empat perasaan tersebut adalah perasaan kognitif atau kuriositas, perasaan
estetik, perasaan etik dan perasaan religius.[11]
Di antara
empat dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai
kecenderungan kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak
manusia kepada agama. Meyakini adanya Sumber Awal Yang Agung ini tidak memerlukan dalil terpisah. Barangkali,
kepercayaan religius ini terkontaminasi dengan khurafat-khurafat, dan membuat
seseorang menjadi penyembah berhala, matahari dan bulan. Akan tetapi,
pembahasan kita terfokus pada dasar masalah; (yakni adanya kecenderungan
terhadap Tuhan, Sumber Awal, dan Hari Akhir).
d. Kekecewaan Terhadap Propaganda
Penentang Agama
Kita
menyaksikan propaganda intensif anti-agama dalam lintasan akhir-akhir kurun ini, khususnya yang merebak
di belahan bumi Eropa dan berlangsung gencar. Ditinjau dari sisi penyebaran dan
penggunaan pelbagai sarana, propaganda ini tidak tertandingi.
Tatkala gerakan sains Eropa (Renaissance) yang diusung oleh kaum cendikia dan politisi
memberikan kekuatan kepada mereka untuk melepaskan diri dari hegemoni dan
dominasi gereja, gelombang anti-agama[12] ini sedemikian hebat bangkit di Eropa sampai
pesan-pesan ateisme muncul ke permukaan. Khususnya penetrasi yang dilakukan
oleh para filsuf dan ilmuwan alam membantu mereka untuk mengoncang seluruh
fondasi agama, sehingga keberadaan gereja menjadi terpuruk, figur-figur
religius Eropa mengasingkan diri, keyakinan kepada wujud Tuhan, mukjizat, Hari
Kebangkitan, kitab-kitab suci dipandang sebagai bagian dari khurafat. Akhirnya,
mereka membagi perkembangan umat manusia ke dalam empat periode: periode
legenda dan mitos, periode agama, periode filsafat, dan periode sains.
Berdasarkan klasifikasi ini, masa agama telah lewat dan berlalu dari hadapan
kita.
Dan sebagai
konsekuensinya, dalam literatur-literatur Sosiologi yang telah mengalami
kemajuan pesat pada masa kini, disebutkan bahwa pada masa tersebut, masalah ini
telah dianggap sebagai sebuah hukum pasti bahwa agama memiliki faktor natural.
Kini faktor-faktor tersebut adalah kebodohan, rasa takut, hajat terhadap
kehidupan sosial, dan atau masalah-masalah ekonomi. Tentunya, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di antara
para sosiolog.
Benar bahwa
agama yang berkuasa pada masa itu adalah gereja Abad Pertengahan. Karena
arbitari (penghakiman) yang tanpa belas kasihan dan perlakuan-perlakuan buruk
mereka terhadap masyarakat secara umum dan para ahli ilmu alam secara khusus,
ketenggelaman dalam gaya hidup aristokrat dan glamor, melupakan tekanan-tekanan
yang sedang menimpa orang-orang tertindas. Merekalah yang harus bertanggung
jawab atas segala perbuatan tersebut. Akan tetapi, anehnya masalah ini tidak hanya tertuju kepada paus dan
gereja, tetapi malah merasuki seluruh agama dunia.
Kaum komunis
juga -dengan tujuan melenyapkan agama- turun ke kancah dengan segenap kekuatan.
Seluruh sarana propaganda dan pemikiran filsafat mereka dikerahkan untuk
mewujudkan sasaran-sasaran propaganda. Mereka berupaya semaksimal mungkin
memperkenalkan kepada masyarakat dunia bahwa agama adalah candu bagi
masyarakat.
Namun, kita
melihat gelombang raksasa anti-agama ini tidak mampu memadamkan bara dan
semangat agama yang mengakar pada lubuk hati manusia. Kecenderungan religius
tumbuh bersemi, dan bahkan di negara-negara komunis sendiri. Informasi terakhir
menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan para penguasa di daerah-daerah ini
kepada agama, khususnya kepada Islam. Bahkan di negara-negara komunis yang
kendati masih berupaya untuk melenyapkan agama, justru menunjukkan hasil yang
sebaliknya, bahwa yang menggejala adalah gerakan penyebaran agama.
Masalah ini
mengindikasikan dengan baik bahwa agama memiliki akar di dalam fitrah setiap
manusia. Oleh karena itu, agama dapat menjaga dirinya dalam menghadapi
gelombang propaganda yang menentang keberadaanya. Kalau bukan karena
mengakarnya agama ini pada diri manusia, niscaya agama hingga kini sudah
dilupakan orang.
e. Pengalaman Pribadi dalam Getirnya
Kehidupan
Alangkah banyaknya orang yang belajar tentang
kebenaran dalam kehidupan mereka ketika ia menghadapi kesulitan-kesulitan yang
menyita energi mereka, seperti badai cobaan hidup yang keras dan
keterperangkapan dalam petaka. Dalam menghadapi semua ini, seluruh gerbang
penyelamat lahiriah tertutup di hadapannya. Ketika itulah ia merasakan
sisa-sisa harapan yang hangat dari kedalaman jiwa dan perhatiannya tertuju
kepada Sumber Awal (Tuhan) yang mampu memecahkan seluruh kesulitan yang sedang
dihadapinya. Hati bergantung kepadanya dan berupaya mencari pertolongan
dari-Nya.
Bahkan kondisi ini pun dapat dirasakan oleh
orang-orang yang berada dalam keadaan normal dan tidak memiliki kecenderungan
religius. Mereka juga mengambil manfaat dari reaksi-reaksi ruh ini tatkala
penyakit-penyakit akut dan kekalahan-kekalahan getir menerpa kehidupan mereka.
Semua ini adalah bukti nyata atas realitas yang
ditegaskan oleh Kitab-kitab Suci tentang kefitrahan marifatullh dan
keorisinilan kecenderungan religius pada diri manusia. Dari sudut hati dan
lubuk jiwa yang paling dalam ia mendengarkan dengan kuat dan ekspresif seruan
lembut dan penuh kasih, yang menuntunnya ke arah Realitas Agung Yang Mahatahu,
Mahaperkasa, dan Mahatinggi, yang bernama Allah atau Tuhan. Boleh jadi
seseorang memberikan nama lain atas-Nya. Persoalannya tidak terletak pada
pemberian nama, tetapi terfokus pada iman kepada realitas tersebut.
f. Kesaksian Para
Ilmuan atas Kefitrahan Kecenderungan Religius
Masalah
kefitrahan agama bukanlah masalah yang terbatas hanya pada ayat dan riwayat
saja. Ucapan-ucapan para ilmuwan dan filsuf non-Muslim dapat dijadikan sebagai
bahan perbandingan dalam masalah ini.
Sebagai contoh, Einstein, ketika memberikan penjelasan
detail seputar pembahasan ini berkata, Satu keyakinan dan agama -tanpa kecuali-
ada pada setiap orang. Aku menamakannya Perasaan Religius Penciptaan. Dalam
agama ini, manusia merasakan dirinya begitu kecil-tak berharga, menemukan
tujuan-tujuan umat manusia dan keagungan yang bersemayam di balik (agama) dan
fenomena semesta. Ia melihat dirinya sebagai satu jenis penjara. Terkadang ia
ingin terbang meninggalkan sarang, dan seluruh keberadaan ditemukannya dalam
bentuk satu realitas.[13]
Pascal, seorang ilmuwan ternama, berkata, Hati memiliki
argumen-argumen yang tidak dapat dicapai oleh akal.[14]
William James berkata, Aku menerima dengan baik bahwa
sumber kehidupan adalah religius (hati). Aku juga menerima bahwa formula dan
tuntunan-tuntunan praktis filsafat tak ubahnya seperti subjek yang telah
diterjemahkan dan teks aslinya diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.[15]
Max Muller berkata, Para pendahulu kita, sejak pertama
kali menundukkan kepala ke haribaan Tuhan, mereka bahkan tidak mampu memberikan
nama untuk Tuhan.[16]
Di tempat lain, Muller menyampaikan keyakinannya yang
bertentangan dengan pendapat main-stream. Ia berkata,
Agama dimulai dengan penyembahan terhadap alam, benda-benda, dan berhala.
Setelah itu, penyembahan kepada Tuhan yang satu. Paleontologi (ilmu yang
mengkaji tentang kehidupan masa pra-sejarah dengan menggunakan bukti-bukti
forensik) membuktikan bahwa menyembah Tuhan yang satu telah berlangsung semenjak
zaman dahulu. [17]
Seorang ahli sejarah bernama Palutark berkata, Sekiranya
Anda memandang pelataran semesta ini, Anda akan jumpai banyak tempat yang di
situ tidak ada data mengenai rekonstruksi, pembangunan, ilmu, industri,
politik, dan negara. Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai tempat yang di situ
tidak ada Tuhan.[18]
Samuel Kning dalam bukunya Jme’eh-shinsi (Sosiologi) berkata, Seluruh umat
manusia memiliki jenis agama. Meskipun para etnolog (ahli yang mengkaji tentang
etnis), petualang dan muballig pertama Masehi menyebutkan adanya kaum yang
tidak memiliki agama dan kepercayaan. Akan tetapi, setelah itu diketahui bahwa
laporan-laporan mereka tidak memiliki landasan. Penilaian mereka hanya
berdasarkan pada indikasi yang beranggapan bahwa agama kaum ini serupa dengan
agama mereka.[19]
Pembahasan ini kami akhiri dengan meminjam ucapan Will
Durant, sejarawan terkemuka kontemporer. Ia berkata, Sekiranya kita tidak
berpendapat bahwa agama memiliki akar-akar pada masa pra-sejarah, maka kita
tidak akan mengenal sejarah dengan baik seperti yang kita kenal sekarang ini.[20]
Mengapa Manusia Berhajat kepada Agama?
Setelah
mengulas beberapa asumsi kemunculan agama dan latar belakang sejarah atas hajat
manusia terhadap agama, kini mari kita mendedah, alasan-alasan mengapa manusia
berhajat dan memerlukan agama dengan memaparkan beberapa unsur yang memantik
manusia untuk beragama.
1. Agama menjawab sense of religion
Menyingkap
perasaan keberagamaan pada diri manusia, dan pengakuan terhadap perasaan ini
merupakan salah satu unsur pertama, yang tetap dan natural pada jiwa manusia.
Di samping ketiga naluri dan insting yang ada pada diri manusia, ia juga
memiliki naluri atau perasaan keempat yang bernama naluri untuk beragama.
Keempat naluri tersebut adalah:
a. Naluri Kognitif atau Kuriositas, yang mengkondisikan
manusia semenjak awal penciptaan untuk mencari dan menelusuri masalah-masalah
yang kabur dan buram tentang siapa yang menciptakan alam semesta ini. Dan
perasaan atau naluri ini yang memotivasi para penemu dan inventor untuk
menyingkap tirai yang menyelimuti alam semesta.
b. Naluri Etis, yang menumbuhkan etika dan sifat-sifat
utama dan transendental pada jiwa manusia.
c. Naluri Estetis, yang memunculkan seni dan menjadi
sebab berseminya berbagai cita rasa kesenian.
d. Naluri Religiusitas adalah naluri atau perasaan yang
dirasakan oleh setiap orang pada awal-awal masa baligh dan sebuah jenis
kecendrungan terhadap alam metafisika. Penemuan naluri pada abad keduapuluh
telah menciptakan perubahan pada pemikiran para cendikiawan Barat dan memaksa
kaum Materialis untuk merubah cara pandang mereka.
2. Agama menjawab Kuriositas
Setiap insan
menemukan tiga pertanyaan asasi dalam dirinya ihwal: Aku berasal darimana?
Untuk keperluan apa? Akan kemanakah aku melangkah?
Seorang
Materialis akan terperangah dan tertunduk dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan
ontologis semacam ini. Karena mereka berpandangan bahwa keberadaan ekuivalen
dengan materi, tentu saja tidak akan dapat menjawab sesuatu yang sumbernya
materi. Dan lantaran mereka berkeyakinan bahwa manusia dan semesta tidak
memiliki pencipta yang bijaksana; mereka tidak dapat mengintrodusir tujuan dan
goal dari keberadaan manusia dan semesta. Dan juga karena mereka beranggapan
bahwa keberadaan idem dito materi dan kematian sebagai akhir dan ujung dari
kehidupan, mereka tidak dapat mempercayai kehidupan pasca kematian. Tentu saja
dalam menghadapi tiga pertanyaan yang disebutkan sebelumnya, mereka akan
terperangah dan tertunduk diam seribu bahasa. Sementara agama dengan lantang
dan kencang dapat memberikan jawaban atas tiga pertanyaan ontologis di atas.
Agama menjawab bahwa manusia dan alam semesta karena merupakan makhluk Tuhan
Mahabijaksana, Mahatahu dan Mahakuasa dan Dialah sebagai sumber keberadaan
manusia dan semesta, karena Dia yang menciptakan manusia dan semesta tentulah
Dia memiliki tujuan penciptaan manusia dan tujuan tersebut adalah untuk
mengenal dan mentaati serta sampai kepada kesempurnaan diri dimana hasil dari
semua itu dapat dituai pada kehidupan selanjutnya. Kematian dalam perspektif
agama merupakan terminal bagi kehidupan yang lain dan ia tidak memandangnya
sebagai akhir dari kehidupan. Dan agamalah sebagai satu-satunya yang dapat
menjawab ketiga pertanyaan ontologis yang dimaksud.
3. Agama menjawab Perkara Psikologis
Para psikolog di samping membahas masalah fenomena-fenomena
yang tak terhitung yang berlaku di dunia ini mereka juga mengurai tentang
dimensi kejiwaan manusia. Mereka dalam hal ini berkata, kembalinya manusia
kepada agama memiliki efek-efek yang dapat memecahkan pelbagai persoalan yang
mendera kehidupan manusia, antara lain:
a. Menciptakan pemahaman dan sikap optimisme di antara
manusia.
b. Mengkompensasi segala derita dan nestapa yang dialami
manusia.
4. Agama Mengatur Urusan Sosial
Manusia secara natural adalah makhluk sosial (zoon
politician). Manusia menghendaki adanya interaksi sosial di antara sesam
jenisnya sehingga ia dapat memecahkan berbagai problematika yang dihadapinya
secara gotong-royong dan saling membantu satu sama lain. Di samping itu ia juga
dapat menghalau berbagai rintangan dan halangan yang merintangi jalannya untuk
sampai kepada kesempurnaan dengan berinteraksi dengan manusia yang lain.
Tentang
sebab mengapa manusia secara natural ingin hidup berdampingan dengan manusia
yang lain terdapat beberapa alasan di balik itu. Akan tetapi yang lebih penting
dari itu adalah konsep dan desain asasi yang diperlukan manusia untuk
berinteraksi dan bergaul secara sosial. Dan agama di sini memainkan peran untuk
mengatur dan menata relasi dan hubungan yang ada dan seharusnya ada di antara
sesama manusia. Peran agama yang mengatur kehidupan manusia itu antara lain:
Pertama,
menjelaskan batasan dan tugas masing-masing individu dalam interaksi sosialnya.
Karena betapapun seorang individu adalah seorang adil dan tahu akan tugasnya
namun jika rule of game tidak ditentukan maka ia tidak akan dapat menjalankan
tugasnya sebagaimana mestinya.
Kedua,
dengan mengimplementasikan serangkaian program kerja yang bermanfaat dan
menjelaskan punish terhadap sikap egosentrik dan tidak tahu batasan setiap
individu.
Dengan peran
sentral agama ini, jaminan untuk terciptanya tatanan masyarakat yang saling
menghargai dan tolong menolong dalam rangka mencapai kesempurnaan maknawi dan
mengaktualkan potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap individu dalam
masyarakat dapat dicapai.
Kesimpulan
Dengan
menjawab asumsi-asumsi dan hipotesa atas keberagamaan manusia maka dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam
kehidupannya. Agama yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi dan
duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas dijelaskan dalam setiap ajaran agama.
Melalui agama pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyangkut
persoalan-persoalan eksistensial dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif
dimana orang-orang yang kontra dengan keberadaan agama dan mencoba memberangus
rasa keberagamaan itu dengan menyajikan industri dan sains. Namun manusia
karena dalam dirinya mengandung dua dimensi, ragawi dan maknawi, kebutuhan dan
dahaga maknawinya tidak akan dapat pernah dapat terpenuhi selain dengan
perantara sesuatu yang trasendental. Oleh karena itu, jelaslah alasan ihwal
mengapa kita beragama? Adapun tentang agama yang mana yang harus kita ikuti dan
yakini kebenarannya, kita akan membahasnya pada kesempatan mendatang.
itulah referensinya...
ada pertanyaan ??? silahkan langsung komen aja !!!