download this file
password : tandatanya
TUGAS
PROPOSAL PENELITIAN
“PENGARUH KULTUR
BUGIS-MAKASSAR TERHADAP GAYA KEPEMIMPINAN”
OLEH :
SOEPARMAN
ISMAIL
1193140076
MANAJEMEN
B
PROGRAM STUDI
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2013
BAB I
1.1.
Latar Belakang
Melihat
kondisi perekonomian yang terus mengalami peningkatan baik dari dalam maupun
luar negeri peran perusahaan swasta maupun perusahan yang berada pada lingkup
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya juga didukung oleh kualitas
Sumber daya manusia (SDM) yang memadai . di mana didalam suatu perusahaan
terdapat yang hebat ada seorang pemimpin yang hebat pula di dalamnya
Sekarang
sudah banyak para profesional sumber daya manusia menciptakan alat ukur bant yang dapat
digunakan untuk membuktikan pengaruh kultur atau budayaa yang mempunya peran dalam
mempin sutu oraganisasi atau perusahaan
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah
kultur budaya bugis-makassar mempengaruhi karakter seseorang dalam memimpin
suatu organisasi atau perusahaan
1.3. Tujuan peneiltian
Berdasarkan rumusan
masalah yang ada, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah
mengetahui apakah kultur budaya bugis-makassar mempengaruhi karakter seseorang
dalam memimpin suatu organisasi atau perusahaan.
1.4. Kegunaan Penelitian
Adapun
manfaat-manfaat yang di dapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi
Penulis
Dengan
adanya penelitian ini akan semakin mempertajam wawasan penulis dalam hal pengaruh
aspek tertentu dalam karakter kepemimpinan seseorang
1.5. Sistematika Penulisan
Penulis membagi penelitian ini dalam
6 (enam) bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan
yang terdiri dari latar belakang, masalah pokok, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua tinjauan
pustaka, yang terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian ini, dan
hipotesis.
Bab ketiga metode penelitian yang
menguraikan waktu dan lokasi penelitian, metode pengumpulan data, jenis dan sumber data, metode analisis yang
digunakan, serta definisi operasional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Menjadi Pemimpin
Khazanah kearifan lokal Bugis, dapat diperoleh dalam berbagai karya sastra Bugis klasik yang memuat beragam kearifan dan ternyata masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. Beberapa sumber kearifan lokal tersebut adalah Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong. Di sana terdapat beragam warisan kearifan yang tak ternilai harganya.
Dalam hal kepemimpinan, maka hal mendasar yang ditekankan untuk diperhatikan dalam khazanah kearifan lokal Bugis adalah manusianya. Bagaimana kualitas seseorang yang akan menjadi pemimpin. Dalam Lontara Pappaseng To Riolota disebutkan sebuah pepatah Bugis, ”Duami kuala sappo, Unganna Panasa’e, Belo Kanukue” (dua hal yang kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku).
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut ”lempu” yang berasosiasi dengan kata jujur. Sedangkan hiasan kuku ditulis dengan kata ”pacci” yang dalam bahasa Bugis juga bisa terbaca ”paccing” yang bermakna bersih dan suci. Jadi ada dua kualitas manusia yang pantas diangkat menjadi pagar atau penjaga bagi manusia lain, yaitu manusia yang jujur serta bersih dan suci.
Hanya manusia yang jujur serta bersih dan sucilah yang pantas diangkat jadi pemimpin. Dengan kejujurannya, maka orang tersebut tidak akan melalaikan amanah, dengan kebersihan dan kesucian hatinya, dia tidak akan berbuat dzalim terhadap rakyatnya.
Dalam pesan yang lain, ditemukan bahwa masyarakat Bugis akan menerima seorang pemimpin yang memenuhi karekter berikut, Maccai na malempu, Waraniwi na magetteng (Cendekia lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang baik bagi masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.
Pemimpin tidak hanya harus pandai dan cendekia melainkan harus disertai kejujuran agar pemimpin tersebut tidak membodohi rakyat yang dipimpinnya. Sementara itu, berani juga harus tetap dilengkapi dengan keteguhan pendirian untuk melengkapi kepandaian dan kejujuran agar pemimpin tersebut tidak menjadi bermodal nekad belaka, tapi keberanian yang dilandasi pertimbangan yang matang.
Lebih lanjut, dalam Lontara Sukku’na Wajo disebutkan beberapa kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi masyarakat Bugis, yaitu :
Khazanah kearifan lokal Bugis, dapat diperoleh dalam berbagai karya sastra Bugis klasik yang memuat beragam kearifan dan ternyata masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. Beberapa sumber kearifan lokal tersebut adalah Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong. Di sana terdapat beragam warisan kearifan yang tak ternilai harganya.
Dalam hal kepemimpinan, maka hal mendasar yang ditekankan untuk diperhatikan dalam khazanah kearifan lokal Bugis adalah manusianya. Bagaimana kualitas seseorang yang akan menjadi pemimpin. Dalam Lontara Pappaseng To Riolota disebutkan sebuah pepatah Bugis, ”Duami kuala sappo, Unganna Panasa’e, Belo Kanukue” (dua hal yang kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku).
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut ”lempu” yang berasosiasi dengan kata jujur. Sedangkan hiasan kuku ditulis dengan kata ”pacci” yang dalam bahasa Bugis juga bisa terbaca ”paccing” yang bermakna bersih dan suci. Jadi ada dua kualitas manusia yang pantas diangkat menjadi pagar atau penjaga bagi manusia lain, yaitu manusia yang jujur serta bersih dan suci.
Hanya manusia yang jujur serta bersih dan sucilah yang pantas diangkat jadi pemimpin. Dengan kejujurannya, maka orang tersebut tidak akan melalaikan amanah, dengan kebersihan dan kesucian hatinya, dia tidak akan berbuat dzalim terhadap rakyatnya.
Dalam pesan yang lain, ditemukan bahwa masyarakat Bugis akan menerima seorang pemimpin yang memenuhi karekter berikut, Maccai na malempu, Waraniwi na magetteng (Cendekia lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang baik bagi masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.
Pemimpin tidak hanya harus pandai dan cendekia melainkan harus disertai kejujuran agar pemimpin tersebut tidak membodohi rakyat yang dipimpinnya. Sementara itu, berani juga harus tetap dilengkapi dengan keteguhan pendirian untuk melengkapi kepandaian dan kejujuran agar pemimpin tersebut tidak menjadi bermodal nekad belaka, tapi keberanian yang dilandasi pertimbangan yang matang.
Lebih lanjut, dalam Lontara Sukku’na Wajo disebutkan beberapa kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi masyarakat Bugis, yaitu :
1.
Jujur
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sesamanya manusia;
2.
Takut
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta
tidak membeda-bedakan rakyatnya;
3.
Mampu
memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang dengan baik, dan mampu
menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat pemerintah dan rakyatnya;
4.
Mampu
menjamin kesejahteraan rakyatnya;
5.
Berani
dan tegas, tidak gentar hatinya mendengar berita buruk (kritik) dan berita baik
(tidak mudah terbuai oleh sanjungan);
6.
Mampu
mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat pemerintahan;
7.
Berwibawa
terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya;
8.
Jujur
dalam segala keputusannya.
2.2
Etika Kepemimpinan
Seorang yang terpilih menjadi pemimpin dituntut untuk memiliki bangunan etika tertentu yang menjadi prasyarat etis yang harus dipenuhi. Setidaknya ada 4 (empat) nilai etik utama bagi seorang pemimpin dalam konstruksi masyarakat Bugis, yaitu (1) niat yang tulus, (2) konsistensi, (3) rasa keadilan, dan (4) azas kepatutan.
Pertama, niat yang tulus. Seorang pemimpin harus berangkat dari niat yang tulus dan hati yang bersih, atau dikenal dengan istilah ati madeceng atau ati macinnong. Secara etis, seorang pemimpin diharapkan untuk menanggalkan semua bias motivasi ketika akan menduduki posisi kepemimpinan dalam masyarakat.
Dalam Lontara Paseng To Riolota, terdapat sebuah pesan yang berbunyi, ”Makkedatopi Arung Bila: eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau. Ma’eppana, moloi ada na padapi” (artinya: “Berkata Arung Bila: empat tanda orang yang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat melaksanakan kata-katanya dan mencapai sasaran”).
Bila seseorang telah memiliki niat yang tulus, maka akan berimplikasi pada prasyarat etis yang kedua, yaitu konsistensi yang ditandai dengan satunya kata dan perbuatan. Masyarakat Bugis memahami betul petuah ”Taro ada taro gau” yang berarti satunya kata dan perbuatan. Pesan ini benar-benar dihayati oleh seorang pemimpin Bugis.
Sebagai contoh, ada riwayat tentang Lamanussa Toakkarangen ketika menjadi Datu Soppeng. Pada masa pemerintahannya, rakyat Soppeng mengalami kelaparan yang timbul karena paceklik sebagai efek dari kemarau panjang yang melanda negeri. Melihat kondisi ini, Datu meneliti apakah ada pejabatnya yangg melakukan tindakan dzalim kepada rakyat? Ternyata tidak ada.
Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.
Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.Pesan ini berarti, ”tempatkanlah di barat apa yang memang seharusnya di barat, di timur yang memang seharusnya di timur, di selatan yang memang seharusnya di selatan, di utara yang memang seharusnya di utara. Tempatkanlah di atas apa yang memang seharusnya di atas, di bawah yang memang seharusnya di bawah”.Nilai etik ini menjadi panduan dalam menegakkan keadilan masyarakat. Salahkanlah siapa yang memang bersalah, siapapun dia. Dan belalah yang benar, meskipun dia bukan siapa-siapa. Hargai yang tua, sayangi yang muda. Penegakan rasa keadilan akan mendorong munculnya niali etik keempat, azas kepatutan. Para tetua Bugis memesankan, ”Mappasitinaja atau mappasikoa” atau memperhatikan azas kepatutan sesuatu. Sebuah pepatah Bugis mempertegas hal ini, ”Aja’ muangoai onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau” . Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.
2.3 Karakter Kepemimpinan
Selain membahas tentang etika kepemimpinan, berbagai khazanah kearifan lokal Bugis seperti Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong, juga memuat tentang karakter kepemimpinan politik manusia Bugis. Pertama, penegakan hukum. Sebuah petuah berharga tanah Bugis berbunyi, ”ade’ temmakkiana’ temmakieppo” yang berarti bahwa ”adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu” Prinsip ini dapat ditemukan aplikasinya sebagaimana dicontohkan oleh Raja Bone La Patau Matanna Tikka ketika menghukum putranya La Temmasonge pada tahun 1710 dengan hukuman ”ri paoppangi tana” (di usir dari Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung Tibojong. Begitupula Arung Maroa Wajo X La Pakoko Topabbele’ menghukum mati anaknya sendiri La Pabbele’ karena memperkosa seorang perempuan di kampung To Tinco. Karakter kepemimpinan kedua, adalah demokratis atau dalam khasanah Bugis disebut kemerdekaan. Dalam Lontara Sukku’na Wajo terdapat sebuah petuah yang berbunyi, ”Naiyya ri asengge maradeka, tellumi pannessai: seuani, tenri lawa’i ri olona. Maduanna, tenri angka’i ri ada-adanna. Matellunna, ternri atteangngi lao maniang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao manorang”.Petuah ini berati bahwa “yang dinamakan merdeka, ada tiga hal yang menentukan: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga, tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur, ke atas, ke bawah”. Benar-benar sebuah jaminan akan kebebasan masyarakat. [V]
Seorang yang terpilih menjadi pemimpin dituntut untuk memiliki bangunan etika tertentu yang menjadi prasyarat etis yang harus dipenuhi. Setidaknya ada 4 (empat) nilai etik utama bagi seorang pemimpin dalam konstruksi masyarakat Bugis, yaitu (1) niat yang tulus, (2) konsistensi, (3) rasa keadilan, dan (4) azas kepatutan.
Pertama, niat yang tulus. Seorang pemimpin harus berangkat dari niat yang tulus dan hati yang bersih, atau dikenal dengan istilah ati madeceng atau ati macinnong. Secara etis, seorang pemimpin diharapkan untuk menanggalkan semua bias motivasi ketika akan menduduki posisi kepemimpinan dalam masyarakat.
Dalam Lontara Paseng To Riolota, terdapat sebuah pesan yang berbunyi, ”Makkedatopi Arung Bila: eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau. Ma’eppana, moloi ada na padapi” (artinya: “Berkata Arung Bila: empat tanda orang yang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat melaksanakan kata-katanya dan mencapai sasaran”).
Bila seseorang telah memiliki niat yang tulus, maka akan berimplikasi pada prasyarat etis yang kedua, yaitu konsistensi yang ditandai dengan satunya kata dan perbuatan. Masyarakat Bugis memahami betul petuah ”Taro ada taro gau” yang berarti satunya kata dan perbuatan. Pesan ini benar-benar dihayati oleh seorang pemimpin Bugis.
Sebagai contoh, ada riwayat tentang Lamanussa Toakkarangen ketika menjadi Datu Soppeng. Pada masa pemerintahannya, rakyat Soppeng mengalami kelaparan yang timbul karena paceklik sebagai efek dari kemarau panjang yang melanda negeri. Melihat kondisi ini, Datu meneliti apakah ada pejabatnya yangg melakukan tindakan dzalim kepada rakyat? Ternyata tidak ada.
Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.
Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.Pesan ini berarti, ”tempatkanlah di barat apa yang memang seharusnya di barat, di timur yang memang seharusnya di timur, di selatan yang memang seharusnya di selatan, di utara yang memang seharusnya di utara. Tempatkanlah di atas apa yang memang seharusnya di atas, di bawah yang memang seharusnya di bawah”.Nilai etik ini menjadi panduan dalam menegakkan keadilan masyarakat. Salahkanlah siapa yang memang bersalah, siapapun dia. Dan belalah yang benar, meskipun dia bukan siapa-siapa. Hargai yang tua, sayangi yang muda. Penegakan rasa keadilan akan mendorong munculnya niali etik keempat, azas kepatutan. Para tetua Bugis memesankan, ”Mappasitinaja atau mappasikoa” atau memperhatikan azas kepatutan sesuatu. Sebuah pepatah Bugis mempertegas hal ini, ”Aja’ muangoai onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau” . Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.
2.3 Karakter Kepemimpinan
Selain membahas tentang etika kepemimpinan, berbagai khazanah kearifan lokal Bugis seperti Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong, juga memuat tentang karakter kepemimpinan politik manusia Bugis. Pertama, penegakan hukum. Sebuah petuah berharga tanah Bugis berbunyi, ”ade’ temmakkiana’ temmakieppo” yang berarti bahwa ”adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu” Prinsip ini dapat ditemukan aplikasinya sebagaimana dicontohkan oleh Raja Bone La Patau Matanna Tikka ketika menghukum putranya La Temmasonge pada tahun 1710 dengan hukuman ”ri paoppangi tana” (di usir dari Bone dan dibuang ke Buton) karena membunuh Arung Tibojong. Begitupula Arung Maroa Wajo X La Pakoko Topabbele’ menghukum mati anaknya sendiri La Pabbele’ karena memperkosa seorang perempuan di kampung To Tinco. Karakter kepemimpinan kedua, adalah demokratis atau dalam khasanah Bugis disebut kemerdekaan. Dalam Lontara Sukku’na Wajo terdapat sebuah petuah yang berbunyi, ”Naiyya ri asengge maradeka, tellumi pannessai: seuani, tenri lawa’i ri olona. Maduanna, tenri angka’i ri ada-adanna. Matellunna, ternri atteangngi lao maniang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao manorang”.Petuah ini berati bahwa “yang dinamakan merdeka, ada tiga hal yang menentukan: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga, tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur, ke atas, ke bawah”. Benar-benar sebuah jaminan akan kebebasan masyarakat. [V]
2.4 Teori Kepemimpinan
1. Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan beerangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan
Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan , bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory”
Dalam perkemabangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak
seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain ; sifat fisik, mental dan kepribadian
2. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecenderungan kea rah dua hal :
Pertama yang disebut Konsiderasi yaitu kecenderungan pemimpin yangØ menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia bekonsultasi dengan bawahan.
Kedua disebut struksur inisiasi yaitu kecenderungan seorang pemimpinØ yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil apa yang akan dicapai.
Jadi berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi juga.
Kemudian juga timbul teori kepemimpinan situasi dimana seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
3. Teori kontingensi
Mulai berkembang th 1962, teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu sistem manajemen yang optimum, sistem tergantung pada tingkat perubahan lingkungannya. Sistem ini disebut sistem organik (sebagai lawan sistem mekanistik), pada sistem ini mempunyai beberapa ciri:
¯ Substansinya adalah manusia bukan tugas.
¯ Kurang menekankan hirarki
¯ Struktur saling berhubungan, fleksibel, dalam bentuk kelompok
¯ Kebersamaan dalam nilai, kepercayaan dan norma
¯ Pengendalian diri sendiri, penyesuaian bersama
4. Teori Behavioristik
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa manajemen yang efektif bila ada pemahaman tentang pekerja – lebih berorientasi pada manusia sebagai pelaku.
Beberapa tokohnya, antara lain:
a. Maslow
Individu mempunyai 5 kebutuhan dasar yaitu physical needs, security needs, social needs, esteem needs, self actualization needs. Kebutuhan tersebut akan menimbulkan suatu keinginan untuk memenuhinya. Organisasi perlu mengenali kebutuhan tersebut dan berusaha memenuhinya agar timbul kepuasan.
b. Douglas Mc Gregor (1906-1964)
Teori X dan teori Y
Teori X melihat karyawan dari segi pessimistik, manajer hanya mengubah kondisi kerja dan mengektifkan penggunaan rewards & punishment untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Teori Y melihat karyawan dari segi optimistik, manajer perlu melakukan pendekatan humanistik kepada karyawan, menantang karyawan untuk berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, mendorong kinerja.
5. Teori Humanistik
Teori ini lebih menekankan pada prinsip kemanusiaan. Teori humanistic biasanya dicirikan dengan adanya suasana saling menghargai dan adanya kebebasan. Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Analisis ilmiah tentang kepemimpinan beerangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan
Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan , bukannya diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan “the greatma theory”
Dalam perkemabangannya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak
seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain ; sifat fisik, mental dan kepribadian
2. Teori Kepemimpinan Perilaku dan Situasi
Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecenderungan kea rah dua hal :
Pertama yang disebut Konsiderasi yaitu kecenderungan pemimpin yangØ menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti: membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia bekonsultasi dengan bawahan.
Kedua disebut struksur inisiasi yaitu kecenderungan seorang pemimpinØ yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat, bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil apa yang akan dicapai.
Jadi berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi juga.
Kemudian juga timbul teori kepemimpinan situasi dimana seorang pemimpin harus merupakan seorang pendiagnosa yang baik dan harus bersifat fleksibel, sesuai dengan perkembangan dan tingkat kedewasaan bawahan.
3. Teori kontingensi
Mulai berkembang th 1962, teori ini menyatakan bahwa tidak ada satu sistem manajemen yang optimum, sistem tergantung pada tingkat perubahan lingkungannya. Sistem ini disebut sistem organik (sebagai lawan sistem mekanistik), pada sistem ini mempunyai beberapa ciri:
¯ Substansinya adalah manusia bukan tugas.
¯ Kurang menekankan hirarki
¯ Struktur saling berhubungan, fleksibel, dalam bentuk kelompok
¯ Kebersamaan dalam nilai, kepercayaan dan norma
¯ Pengendalian diri sendiri, penyesuaian bersama
4. Teori Behavioristik
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa manajemen yang efektif bila ada pemahaman tentang pekerja – lebih berorientasi pada manusia sebagai pelaku.
Beberapa tokohnya, antara lain:
a. Maslow
Individu mempunyai 5 kebutuhan dasar yaitu physical needs, security needs, social needs, esteem needs, self actualization needs. Kebutuhan tersebut akan menimbulkan suatu keinginan untuk memenuhinya. Organisasi perlu mengenali kebutuhan tersebut dan berusaha memenuhinya agar timbul kepuasan.
b. Douglas Mc Gregor (1906-1964)
Teori X dan teori Y
Teori X melihat karyawan dari segi pessimistik, manajer hanya mengubah kondisi kerja dan mengektifkan penggunaan rewards & punishment untuk meningkatkan produktivitas karyawan. Teori Y melihat karyawan dari segi optimistik, manajer perlu melakukan pendekatan humanistik kepada karyawan, menantang karyawan untuk berprestasi, mendorong pertumbuhan pribadi, mendorong kinerja.
5. Teori Humanistik
Teori ini lebih menekankan pada prinsip kemanusiaan. Teori humanistic biasanya dicirikan dengan adanya suasana saling menghargai dan adanya kebebasan. Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan “motivated organism”. Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu; (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001).
Suku Bugis dan Suku Makassar memiliki sejarah panjang,
termasuk di dalamnya budaya merantau yang menjadikannya besar di daerah lain.
Mereka selalu menempati posisi penting di setiap kultur yang mereka masuki
dalam perantauan.
Prof Halilintar Latief, mengungkapkan, ada beberapa alasan masyarakat Bugis-Makassar meninggalkan kampung halamannya untuk tujuan merantau. Pertama adalah alasan faktor keamanan, biasanya karena perang atau konflik. Biasanya mereka adalah masyarakat kecil. Namun, ada juga keyakinan di sebagian masyarakat Bugis-Makassar bahwa seorang calon pemimpin wajib merantau.
Kedua, ada masyarakat Bugis-Makassar yang meninggalkan kampung halaman karena ada hukuman adat dan sejenisnya. Biasanya, karena pelanggaran atau karena mendapat sanksi tertentu sehingga mereka merantau. Untuk alasan ini, biasanya mereka lakukan dengan terpaksa karena tidak ada pilihan. Melawan adat sama halnya berseteru dengan otoritas.
Ketiga, masyarakat atau keluarga yang meninggalkan pemimpinnya karena alasanya tertentu. Dengan alasan itu, pilihannya juga tiada lain adalah merantau. Biasanya mereka melakukan ini karena ada ketidaksepahaman prinsipil dengan sang pemimpin. Hanya saja, dalam persepektif adat, keputusan masyarakat ini akan sangat menyakitkan bagi pemimpin. Dasarnya adalah, pemimpin yang ditinggalkan oleh rakyatnya merupakan pemimpin yang dianggap gagal. Faktor penerimaan masyarakat lokal di rantau, lanjut dia, juga disebabkan oleh mudahnya masyarakat Bugis-Makassar beradaptasi dan berasimilasi. Selain itu, mereka juga dikenal tidak membeda-bedakan masyarakat. "Masyarakat Bugis-Makassar terbuka dan egaliter terhadap masyarakat lain. Tidak memaksakan tradisi dan agama," Penulis buku Diaspora Bugis yang juga akademisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof Andi Faisal Bakti, menyebutkan, ada tiga ujung (tellu cappa) yang berkontribusi bagi kesuksesan masyarakat Bugis-Makassar di rantau, yakni ujung lidah, ujung produktivitas (kelamin), dan ujung badik. Ujung lidah menyangkut komunikasi dan kemampuan diplomasi. "Ujung produktivitas" biasanya diartikan dengan menikahi orang-orang yang berpengaruh di daerah rantau. Sementara ujung badik adalah simbol harga diri. "Badik bukan untuk berkelahi, tetapi bagian dari pakaian. Tentu saja kalau ada situasi perang, maka itu digunakan," . Dengan menggunakan tiga "alat" ini, maka orientasinya bisa sampai pada kekuasaan.
Prof Halilintar Latief, mengungkapkan, ada beberapa alasan masyarakat Bugis-Makassar meninggalkan kampung halamannya untuk tujuan merantau. Pertama adalah alasan faktor keamanan, biasanya karena perang atau konflik. Biasanya mereka adalah masyarakat kecil. Namun, ada juga keyakinan di sebagian masyarakat Bugis-Makassar bahwa seorang calon pemimpin wajib merantau.
Kedua, ada masyarakat Bugis-Makassar yang meninggalkan kampung halaman karena ada hukuman adat dan sejenisnya. Biasanya, karena pelanggaran atau karena mendapat sanksi tertentu sehingga mereka merantau. Untuk alasan ini, biasanya mereka lakukan dengan terpaksa karena tidak ada pilihan. Melawan adat sama halnya berseteru dengan otoritas.
Ketiga, masyarakat atau keluarga yang meninggalkan pemimpinnya karena alasanya tertentu. Dengan alasan itu, pilihannya juga tiada lain adalah merantau. Biasanya mereka melakukan ini karena ada ketidaksepahaman prinsipil dengan sang pemimpin. Hanya saja, dalam persepektif adat, keputusan masyarakat ini akan sangat menyakitkan bagi pemimpin. Dasarnya adalah, pemimpin yang ditinggalkan oleh rakyatnya merupakan pemimpin yang dianggap gagal. Faktor penerimaan masyarakat lokal di rantau, lanjut dia, juga disebabkan oleh mudahnya masyarakat Bugis-Makassar beradaptasi dan berasimilasi. Selain itu, mereka juga dikenal tidak membeda-bedakan masyarakat. "Masyarakat Bugis-Makassar terbuka dan egaliter terhadap masyarakat lain. Tidak memaksakan tradisi dan agama," Penulis buku Diaspora Bugis yang juga akademisi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof Andi Faisal Bakti, menyebutkan, ada tiga ujung (tellu cappa) yang berkontribusi bagi kesuksesan masyarakat Bugis-Makassar di rantau, yakni ujung lidah, ujung produktivitas (kelamin), dan ujung badik. Ujung lidah menyangkut komunikasi dan kemampuan diplomasi. "Ujung produktivitas" biasanya diartikan dengan menikahi orang-orang yang berpengaruh di daerah rantau. Sementara ujung badik adalah simbol harga diri. "Badik bukan untuk berkelahi, tetapi bagian dari pakaian. Tentu saja kalau ada situasi perang, maka itu digunakan," . Dengan menggunakan tiga "alat" ini, maka orientasinya bisa sampai pada kekuasaan.
2.5 Definisi Visi, Misi dan Strategi
Visi
Visi
adalah pernyataan tentang tujuan organisasi yang diekspresikan dalam produk dan
pelayanan yang ditawarkan, kebutuh yang dapat ditanggulangi, kelompok
masyarakat yang dilayani, nilai-nilai yang diperoleh serta aspirasi dan cita-cita masa depan". Visi
yang efektif antara lain harus memiliki karakteristik seperti:
1. Imagible (dapat di bayangkan).
2. Desirable (menarik).
3. Feasible (realities dan dapat
dicapai).
4. Focused (jelas).
5. Flexible (aspiratif dan responsif
terhadap perubahan lingkungan).
6. Communicable (mudah dipahami).
Misi
(Mission)
Misi (mission)
adalah apa sebabnya kita ada (why we exist / what we believe we can do).
Menunit Prasetyo dan Benedicta (2004:8), " Di dalam misi produk dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan, pasar yang dilayani dan teknologi yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dalam pasar tersebut. Pernyataan
misi harus mampu menentukan kebutuhan apa yang dipuasi oleh perusahaan,
yang siapa yang memiliki kebutuhan
tersebut, dimana mereka berada dan bagaimana pemuasan tersebut dilakukan".
Menurut Drucker (2008:87), "Pada dasarnya misi merupakan alasan mendasar eksistensi suatu organisasi.
Pernyataan misi organisasi terutama ditingkat unit bisnis menentukan batas dan
maksud aktivitas bisnis perusahaan. Jadi perumusan misi merupakan realisasi yang akan menjadikan
suatu organisasi mampu menghasilkan produk dan jasa berkualitas yang memenuhi
kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggannya (Prasetyo dan Benedica, 2004:8)
Arsitektur Sumber Daya Manusia sebagai Modal
Stratejik
Menurut
Becker, Huselid dan Ulrich (2006:30), "sistem pengukuran sumber daya
manusia yang efektif mempunyai dua tujuan penting yaitu memberikan petunjuk
bagi pembuatan keputusan dalam perusahaan dan berbagai fungsi untuk
mengevaluasi kinerja sumber daya manusia". Konsep yang dikembangkan dalam Human Resource Scorecard tersebut
lebih ditujukan kepada peran penting dari para profesi sumber daya manusia
dimasa datang. Sistem pengukuran sumber daya manusia harus secara jelas
membedakan Human Resource Deliverables yang mempengaruhi implementasi strategi dan Human
Resource Doables yang mempengaruhi
implementasi strategi. Menurut Tunggal (2003:4)
adalah memfokus pada Human Resource Efficiency dan Activity Counts.
Basis peran
sumber daya manusia dalam implementasi strategi organisasi adalah arsitektur
sumber daya manusia yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu :
2.6 Fungsi Sumber Daya
Manusia (The Human Resource Function)
Fondasi
/ dasar dari suatu strategi sumber daya manusia dalam menciptakan nilai adalah infrastruktur manajemen yang
dapat memahami dan menerapkan strategi perusahaan. Menurut Tunggal (2003,35),
"fungsi sumber daya manusia adalah
peranan yang dijalankan para profesional sumber daya manusia dalam organisasinya". Huselid,
Jackson, dan Randal (dalam Becker, Huselid, dan Ulrich, 2006:53), mengatakan
bahwa efektifitas manajemen sumber daya manusia
mempunyai 2 dimensi yang penting yaitu :
1. Fungsi
teknis (Technical Human Resource Management) yaitu : pemberian jasa dasar sumber daya manusia seperti rekruitmen,
pelatihan, kompensasi dan benefit.
2. Fungsi
strategik (Strategic Human Resource Management) yaitu : pemberian jasa
dengan suatu cara yang secara langsung mendukung implementasi strategi
perusahaan.
Perilaku Pemimpin
Perusahaan
yang kehilangan semua peralatannya tetapi masih memiliki ketrampilan dan pengetahuan dari pemimpin tenaga
kerjanya, dapat kembali ke usaha dengan cepat, sedangkan perusahaan yng
kehilangan tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman, akan sangat sulit unmk
dapat kembali memulihkan usahanya. Perilaku (Strategic Behaviors) terdiri
dari 2 kategori yaitu :
1. Perilaku inti (Core Behaviors) adalah
perilaku yang lahir dari kompetensi
karyawan.
2. Perilaku berdasarkan situasi tertentu (Situation-Specijic
Behaviors] yang penting pada
titik kunci (key points) pada ranti nilai unit usaha atau perusahaan.
2.7
Hipotesis
Berdasarkan pada
berbagai teori dan referensi di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
: “Diduga
bahwa kultur/budaya bugis-makassar mempunyai pengaruh terhadap gaya atau
karakter kepempinan seseorang”
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis memilih obyek penelitian
pada sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang
ekonomi . Adapun waktu yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah
kurang lebih dua bulan lamanya
3.2 Metode Pengumpulan Data
Adapun metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ;
1.
Survey pendahuluan
Dilakukan untuk mendapatkan data tentang keadaan dan segala aktifitas
perusahaan secara umum. Setelah
mengetahui gambaran umum tersebut penulis dapat mencari penyebab-penyebab
masalah dalam perusahaan tentunya yang berhubungan dengan tenaga kerja sebagai
salah satu asset penting perusahaan.
2. Survey
lapangan
Dilaksanakan
dengan terjun ke perusahaan secara langsung dan untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan dengan menggunakan beberapa
cara :
a.
Observasi
b.
Metode Interview (wawancara)
c. Metode
Dokumentasi.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Kualitatif
yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat, dan gambar ataupun data
yang berhubungan dengan keadaan perusahaan serta kegiatan yang dilakukan di
perusahaan tersebut yang meliputi ; sejarah berdirinya perusahaan, struktur
organisasi, jumlah karyawan, job
description, visi dan misi perusahaan.
b. Data Kuantitatif
yaitu data yang diperoleh dan disajikan dalam bentuk angka-angka.
Sedangkan
sumber data dalam penelitian ini
a. Data primer,
yaitu data yang diperoleh secara langsung dari perusahaan dengan mengadakan
observasi dan wawancara yang berupa keadaan dan permasalahan yang dihadapi
perusahaan.
b. Data
sekunder yaitu data yang diperoleh berupa dokumen-dokumen serta informasi
tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
KATA
PENGANTAR
Assalumu’alaikum, Wr, Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Karunia, serta
Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian ini sesuai dengan rencana . Sholawat serta
salam tidak lupa penulis panjatkan kepada junjungan kita Nabi besar sepanjang
masa, Nabi seluruh umat muslim di dunia, Nabi Muhammad SAW. Berkat perjuangan Beliau, sampai saat ini
kita bisa merasakan indahnya Islam.
Pada kesempatan yang sangat berharga ini, dengan segala
kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penulisan proposal penelitian ini, sehingga penulisan proposal
penelitian ini bisa selesai sesuai dengan target.
Baik yang membantu secara moral, spiritual, maupun materi. Sebab tanpa dukungan
kalian semua, penulis selaku penulis belum tentu bisa menyelesaikan proposal penelitian ini dan tentunya juga untuk Semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu-persatu, yang telah banyak membantu dalam penyusunan proposal penelitian ini. Semoga
Allah SWT membalas
kebaikan kalian semua. Manusia
tidak ada yang sempurna. Oleh sebab itu, penulis selaku penulis pasti
memiliki kesalahan, kekurangan dan kelalaian dalam penulisan ini. Maka penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, sehingga untuk masa akan
datang bisa bermanfaat khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi pembaca …Amin
Ya Robbal’Alamin.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Makassar, 14 Januari 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................... i
DAFTAR ISI ……………………………………..... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………...... 1
1.2. Masalah Pokok
…………………………………...... 1
1.3. Tujuan Penelitian
...................................................... 1
1.4. Manfaat Penelitian
................................................... 1
1.5. Sistematika Penulisan
............................................... 2
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Menjadi Pemimpin .............................................................. 2
2.2 Etika Kepemimpinan……………………………................. 5
2.3 Karakter Kepemimpinan …………………………………… 7
2.4 Teori
Kepemimpinan............................................................... 8
2.5
Definisi Visi dan Misi………….......................................... 12
2.6 Fungsi Sumber Daya Manusia.............................................
13
2.7. Hipotesis
............................................................................. 14
BAB III METODE
PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………...... 15
3.2. Metode Pengumpulan Data ……………………………..... 15
3.3. Jenis dan Sumber Data ………………………………........ 15
0 komentar:
Posting Komentar