Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa
kecenderungan utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, kedua,
munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya yang
dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Ketiga,
hampir bersamaan dengan historisme, muncul pula pemikiran evolusionisme yang
berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisonal ke modern.
Keempat, menguatnya kosmologi positivisme.
1. Teori Karl Marx – Hukum itu Kepentingan Orang Berpunya
Hukum tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah
alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa peraturan dibidang
perburuhan cenderung menggelisahkan buruh?, menurut Marx, karena hukum telah
dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum, menurut Marx,
bukanlah keadilan. anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong
kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan orang berpunya. Ia tidak
lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang
menggunakannya sesuai kepentingan mereka. Hukum merupakan salah satu unsur
ideology kelas, dan kareanya menjadi pemicu konflik. Bahkan merupakan factor
yang menyebabkan terjadinya alienasi
2. Teori Savigny – Hukum itu Jiwa Rakyat
Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum
dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari
volkgeist. Oleh karena itu, “hukum adat” yang tumbuh dan berkembang dalam Rahim
volkgeist, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati
itu tidak dibuat, ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia
memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.
3. Teori Jhering – Hukum itu Fusi Kepentingan
Menurut Jhering, posisi “saya” dalam dunia bersandar pada
tiga proposisi: (1) saya disini untuk saya senditi, (2) dunia ada untuk saya,
(3) saya disini untuk dunia tanpa merugikan saya. Semua tatanan hukum, menurut
Jhering, mestinya bersandar pada tiga prinsip dasar ini. Tekanan Jhering pada
kepentingan sebagai suatu yang menentukan dalam hukum, khususnya kepentingan
masyarakat, menghantarkan dia pada interessenjuripruden. Kepentingan
masyarakatlah yang menjadi inti hukum.
4. Teori Henry S. Maine – Hukum itu Produk Adaptasi Sosial
Maine dikenal dengan teorinya Movement from Status to Contract.
Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada
masyarakat Asia (khususnya Cina dan India) dan masyarakat Eropa. Dari studi
tersebut, ia temukan dua tipe masyarakat, yakni: (1). Static Societies (Cina
dan India), dan (2) Progressive Socities (Eropa). Dalam masyarakat yang statis,
hukum bertugas meneguhkan hubungan-hubungan antar-status. Sebaliknya pada
masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak
antar-prestasi.
5. Teori Emile Durkheim – Hukum itu Moral Sosial
Dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada
hakekatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu
masyarakat. Hukum adalah cerminan soladaritas. Tak ada masyarakat dimanapun
yang dapat tegak dan eksis secara berterusan tanpa adanya solidaritas itu.
Sebagai tiang utama integrasi sosial bergerak dan berubah seirama dengan
perkembangan sosial dalam masyarakat.
6. Teori Austin – Hukum itu Tata Hukum
Menurut Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku, bukan
karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (kontra Comte dan Spencer), bukan
pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (kontra von Savigny), bukan
pula karena cermin keadilan dan logos (kontra Socrates Cs), tetapi karena hukum
itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. Justifikasi hukum
ada di segi formal-legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (versi
Austin) maupun derivasi Grundnorm (versi Kelsen). Logis kiranya, jika bagi
aliran ini hal yang penting dalam mempelajari hukum adalah bentuk yuridisnya,
bukan mutu isinya. Isi material hukum, merupakan bidang non-yuridisnya yang
dipelajari oleh disiplin ilmu lain.
Untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya
unsur-unsur yaitu: (1) adanya seorang penguasa (souvereighnity), (2) suatu
perintah (command), (3) kewajiban untuk menaati (duty), (4) sanksi bagi mereka
yang tidak taat (sanction).
7. Teori Ernst Bierling – Hukum itu Ide Umum Aturan Positif
Bierling menggunakan metode induktif-empirik, tata hukum
tertentu diambil sebagai sampel, untuk kemudian digali ide-idenya. Ide-ide
tersebut lalu dibandingkan dengan ide-ide yang ada dalam tata hukum yang lain
(tertentu dengan mempertimbangkan representasi menurut ukuran yang objektif),
sehingga didapatilah ide-ide yang relative universal. Letak sifat empiris dari
riset ini adalah karena ide-ide itu diambil dari tata hukum yang berlaku.
TEORI HUKUM ABAD KE-20
1. Teori Neo-Kantian – Di Mana Letak Sifat Normatif dari
Hukum?
Pemikir Neo-Kantian adalah mencari suatu pengertian
transedental tentang hukum, yaitu sifat normatifnya. Dimanakah letak sifat
normative (dibaca, mewajibkan) dari hukum itu? Inilah pertanyaan pokok yang
hendak dijawab oleh para eksponen Neo-Kantian.
2. Teori Rudolf Stammler – Hukum itu Normatif, Karena
Kehendak Yuridis
Menurut Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam
kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup
(bersama) yang teratur itu, dibutuhkan “perbuatan”, yakni pengaturan segala hal
yang terdapat dalam kehidupan bersama tersebut. Perbuatan mengatur itu,
wujudnya adalah hukum. Jadi hukum merupakan materi yang diberi bentuknya oleh
tujuan menciptakan hidup bersama yang teratur.
3. Teori Hans Kelsen – Hukum itu Normatif Karena Grundnorm
Menurut Kelsen, sumber pedoman-pedoman objektif adalah
grundnorm (norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang
tantanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara).
Kelsen sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya katakana,
grundnorm merupakan syarat transedental-logis bagi berlakunya seluruh tata
hukum. Seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hierarki pada
grundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Kelsen juga sebenarnya
membuat teori tentang tertib yuridis.
4. Teori Gustav Radbruch – Hukum itu Normatif, Karena Nilai
Keadilan
Menurut Radbruch, nilai keadilan adalah “materi” yang harus
menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus
melindungi nilai keadilan.
TEORI DARI KUBU NEO-POSITIVISME
1. Teori Max Weber – Hukum itu Cermin Rasionalitas dan
Otoritas
Weber menggunakan ukuran “tingkat rasionalitas” dan “model
kekuasaan” untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Dalam ranah “tingkat
rasionalitas”, teori Weber berbunyi demikian; “tingkat rasionalitas sebuah
masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu”.
2. Teori Leon Duguit – Hukum itu Tatanan Karya Sosial
Menurut Duguit, hukum itu lahir dari dua rasa yaitu; (1)
rasa keharusan sosial, (2) rasa keadilan. Rasa keharusan sosial, tampil dalam
wujud keyakinan akan perlunya pedoman-pedoman bersama yang sesuai dengan
kebutuhan “masyarakat karya”. Sedangkan rasa keharusan keadilan, menunjuk pada
kepekaan tentang cara membagi beban dan imbalan yang proporsional.
3. Teori Eugen Ehrlich – Hukum itu Aturan Yang Hidup
Menurut Ehrlich, dikatakan “hukum yang hidup”, karena hukum
itu bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar secara a historis. Ia justru
merupakan sesuatu yang eksistensial dalam sejarah hidup suatu masyarakat. Hukum
diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Ehrlich menamakan
hukum yang hidup itu sebagai Rechtsnormen (norma-norma hukum).
4. Teori Theodor Geiger – Hukum itu Gejala Sosial
Menurut Geiger, hukum itu bukan terutama, aturan formal
dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati
orang-orang. Karena itu, Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu adalah
“norma yang sebenarnya”. Dan yang lain, ialah “norma yang tidak sebenarnya”.
Norma yang sebenarnya menunjuk pada norma-norma yang belum masuk aturan negara.
Ia merupakan aturan yang habitual. Sedangkan norma yang tidak sebenarnya adalah
normasatz, norma yang sudah dirumuskan dalam suatu perundangan negara.
5. Teori Maurice Hauriou – Hukum itu Proses Penguatan
Teori Hauriou ini berporos pada peran institusi (khususnya
negara) untuk meneguhkan niat orang menaati hukum. Menurut Hauriou, dari sudut
manusia individu, keinginan untuk menaati aturan itu selalu lemah. Ia akan
bertambah kuat jika ada dukungan dari orang lain. Dukungan itu terjamin berkat
institusionalisasi hidup bersama dalam lembaga-lembaga yang ada, termasuk
negara. Lembaga dalam wujud negara itulah yang pada akhirnya sangat menentukan
dalam mengkondisikan orang untuk taat pada hukum.
6. Teori George Gurvitch – Hukum itu Kenyataan Normatif
Menurut Gurvitch, prioritas hukum harus diberikan kepada
hukum dari masyarakat yang bukan negara. Seharusnya hukum negara dibatasi oleh
hukum masyarakat itu. Kedaulatan itu tidak berasal dari seorang yang berkuasa,
atau dari suatu kekuatan politik manapun juga, tetapi kedaulatan itu terkandung
dalam hukum sosial masyarakat yang tidak terorganisasi, sebab hukum sosial itu
berakar dalam kenyataan normative segala hidup bersama, yakni keadilan yang
terwujud dalam realitas empiris.
7. Teori Talcott Parsons – Hukum itu Mekanisme Integrasi
Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem
dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum, terdapat sub-sub sistem
lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sistem dimaksud
adalah budaya, politik dan ekonomi.
8. Teori Roscoe Pound – Hukum itu Keseimbangan Kepentingan
Menurut Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam
konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis
yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya hukum itu mesti didaratkan di
dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.
TEORI DARI KUBU REALISME HUKUM
1. Teori Oliver Holmes – Hukum itu Perilaku Hakim
Menurut Holmes, aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan
yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang
begitu kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang rill, bukan terletak dalam
undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Hukum yang termuat dalam
aturan-aturan, hanya suatu generalisasi mengenao dunia ideal. Tapi menurut
Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim), sesungguhnya mengjadapi gejala-gejala
hidup secara realistis.
2. Teori Alf Ross – Hukum itu Rasa Wajib/Takut
Menurut Ross, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena
ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila saya berbuat sesuai
aturan, maka bebas dari sanksi. Sebaliknya, jika berbuat tidak sesuai, maka
pasti menerima sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum
sebagai wajib. Berlakunya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu relasi
timbale-balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan
yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial.
TEORI DARI KUBU NEO-MARXIS
1. Teori Ralf Dahrendorf – Hukum itu Kepentingan Orang
Berkuasa
Menurut Dahrendorf, hukum dikuasai oleh mereka yang memegang
atau memiliki kuasa. Struktur sosial, sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi
kekuasaan. Di situ, terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dengan mereka
yang dikuasai. Dengan kata lain, beberapa orang turut serta dalam struktur
kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa orang memiliki kekuasaan, sedang
yang lain tidak. Nah, karena yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada
dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan
melayani kaum pemegang otoritas itu.
2. Teori Feminist Legal Theory – Hukum itu Kepentingan Kaum
Lelaki
Menurut kaum Feminist Legal Theory, hukum merupakan
tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa. Factual, hukum dibangun dan
dikonstruksi dalam logika laki-laki. Implikasinya, ia memperkokoh
hubungan-hubungan sosio-yuridis yang patriartis. Ya, hubungan yang didasarkan
pada norma, pengalaman, serta kekuasaan laki-laki, yang mengabaikan pengalaman
perempuan. Dengan demikian, sampai derajat tertentu, hukum telah menyumbang
kepada penindasan terhadap perempuan.
TEORI DARI KUBU EKSISTENSIALIS
Teori Werner Maihofer – Hukum itu Wujud Eksistensi dan
Sosialitas
Teori Maihofer tentang hukum, bertitik-tolak dari kegandaan
ontology manusia, yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga
sosial. Kebebasan manusia sebagai pribadi eksistensial, menghasilkan hukum alam
eksistensial. Melalui hukum alam eksistensial, manusia mempunyai hak milik
kebendaan, dan hak person dalam hubungan dengan orang lain. Konsekuensinya,
peraturan yang dibuat dalam negara bertujuan melindungi dua hak tersebut.
TEORI DARI KUBU ALIRAN HUKUM ALAM ABAD KE-20
1. Teori W.A.M Luypen – Hukum itu Keinsyafan Keadilan
Menurut Luypen, pembentukan hukum perlu dipandu keadilan.
keadilan merupakan dasar dan norma kritis dalam hukum. Apa yang disebut
tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bisa terjadi, terdapat
tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu tidak menurut
norma-norma keadilan. Hanya hukum yang menurut norma-norma keadilan sajalah
yang sungguh-sungguh mewajibkan.
2. Teori Francois Geny – Hukum itu Perlu Tafsiran
Kontekstual
Menurut Geny, undang-undang tidak pernah sempurna. Sebuah
undang-undang tidak pernah mampu sempurna mempresentasikan keutuhan realitas
yang ada dalam bentangan kehidupan sosial. Karena itu, sangat tidak logis untuk
menarik garis lurus begitu saja antara konsep-konsep umum yang abstrak dalam
undang-undang dengan kasus-kasus rill dalam dunia empiris.
TEORI HUKUM DI MASA TRANSISI
1. Teori Nonet- Selznick – Hukum Responsif
Menurut Nonet- Selznick lewat hukum responsive, menempatkan
hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi
publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan
akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan
emansipasi publik.
2. Teori Satjipto Rahardjo – Hukum Progresif
Menurut Profesor Satjipto, hukum tidak saja dijalankan
sebagai rutinitas belaka, tetapi juga dipermainkan sebagai “barang dagangan”.
Akibatnya hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius,
dari sinilah Profesor Satjipto menyuarakan perlunya hukum progresif. Pemikiran
perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan
filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu
bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum,
ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini
menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum
yang pro-rakyat.
Demikian rangkuman dari berbagai sumber yang saya reposting kembali di Blog ini yang merupakan Tugas Kuliah saya, yang bisajadi juga sedang anda butuhkan dalam menambah referensi tentang TEORI HUKUM
sumber:
1. google
2. https://projustice.id/kumpulan-teori-hukum-menurut-para-ahli/
3. https://www.gramedia.com/literasi/teori-hukum-menurut-para-ahli/